Meski tanpa fasilitas, tanpa gizi yang cukup, dan tanpa kenyamanan apapun, para santri ini percaya bahwa perjuangan mereka di pesantren gratis ini akan membawa perubahan besar bagi hidup mereka dan orang-orang di sekitar mereka
Di pelosok Priangan Timur Jawa Barat, berdirilah sebuah Pesantren Dawuan Amazon Indah di Tasikmalaya yang penuh dengan harapan. Namun, harapan itu harus diuji dengan kesulitan yang begitu besar. Para santri memiliki tekad kuat untuk menuntut ilmu agama, hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil berukuran 2x2 meter, yang menjadi tempat berteduh sekaligus tempat mereka beristirahat. Gubuk itu jauh dari kata layak—bangunan panggungnya reyot, atapnya terbuat dari terpal yang bocor setiap kali hujan turun, dan dinding bambunya bolong-bolong nan lapuk, membuat mereka sering terpapar hujan dan kedinginan.
Salah satu dari mereka adalah Alif Naufal Malik, seorang anak berusia 13 tahun dari Cianjur. Kehidupan Alif penuh dengan perjuangan sejak awal. Tiga minggu sebelum masuk pesantren, ia kehilangan ibunya yang sangat ia cintai. Namun, kehilangan itu tak membuat semangat Alif pudar. Dengan tekad yang kuat, ia meninggalkan kampung halamannya untuk belajar di pesantren gratis ini, membawa cita-cita besar menjadi seorang ulama.
Setiap hari, Alif dan teman-temannya menjalani rutinitas sederhana namun penuh makna. Mereka bangun sebelum subuh, membersihkan kobong, belajar kitab kuning seperti Jurumiyah dan Safinah, dan membantu kegiatan pesantren lainnya. Di tengah keterbatasan, mereka tetap bersyukur, meski makan hanya dua kali sehari. Bahkan, ada saat ketika nasi kering yang diseduh air menjadi satu-satunya sumber makanan mereka. Air minum pun tidak selalu bersih, sering kali harus puas dengan air yang mereka ambil dari sumur. Bagi mereka, bisa makan dan minum adalah bentuk syukur yang besar. Jika tubuh mereka masih kuat untuk belajar, itu adalah anugerah tak ternilai.
“Meskipun disini kami serba terbatas, tapi kami yakin kalau yang paling penting itu ilmu. Ilmu itu seperti cahaya yang bisa menerangi hidup kami. Walaupun kadang kami lapar dan capek, semangat kami buat belajar agama nggak pernah hilang, karena kami tahu itu yang bakal bantu kami kelak,” ujar Alif dengan penuh keyakinan.
Di balik semua kesederhanaan ini, Alif menyimpan mimpi besar: ia ingin membahagiakan ibunya di alam sana. Baginya, menjadi ulama adalah jalan untuk mendapatkan pahala jariyah yang akan terus mengalir untuk sang ibu.
Meskipun hidup di tengah keterbatasan, Alif dan teman-temannya tak pernah menyerah. Mereka percaya bahwa segala kesulitan ini adalah bagian dari perjuangan untuk mendapatkan ilmu yang akan membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik. Mereka yakin bahwa dengan menuntut ilmu agama, mereka bisa memberikan manfaat besar bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Walau gubuk kecil itu tak bisa memberi kehangatan, cita-cita besar mereka cukup untuk menjaga semangat tetap menyala. Mereka tahu, perjuangan ini akan membuahkan hasil yang luar biasa di masa depan.
Dengan perut lapar dan atap bocor, mereka tetap semangat belajar. Para santri yang tak memiliki apa-apa, hanya berharap ilmu yang mereka pelajari akan menerangi masa depan. Jangan biarkan mereka belajar di bawah hujan dan atap bocor. Bantu wujudkan pesantren yang layak dengan dukungan mu melalui :